Sangat-sangat latepost sih ini sebenarnya. Tapi gapapa lah yaaa.. :p
Jadi, pertengahan November tahun 2014 kemarin ada seorang teman yang mengajak saya kemping ceria di Gunung Burangrang, Jawa Barat. Yasudlah, berhubung udah lama gak kelayapan ke gunung jadinya cusss lah jum'at malam ke meeting point di UKI.
Fast forward ya, gausah jelasin posisi gunung Burangrang di mana, koordinat berapa, silakan digoogling saja. Lebih akurat pasti hasilnya. oke? deal.
Awalnya sih gak ngarepin banyak tanjakan yaaa, kan temanya kemping ceria. Tapi nyatanya, untuk tiba di tempat kemping harus jalan kaki dari tempat turun mobil angkot yang aduhaiiiii lumayan cuy sambil gendong backpack yang kelebihan muatan dikarenakan kemampuan packing yang sangat minim. Maklum amatir. Alhasil banyak berenti di pinngir jalan buat ngambil napas dalam-dalam (baca ngos-ngosan). Yagimana.., yang biasa ngasi napas buatan gak ikut. Gak kuat nanjak, katanya. Hih.
Sampai camping ground juga. Dan bersyukur banget gak pakai pingsan. Terus teman-teman yg lain pada diriin tenda donk, tapi lebih banyak yang bikin bivak dari flysheet sih (karena sebenarnya yang punya acara adalah komunitas Bushcraft gitu). Princess yang satu ini poto-poto aja donk, sambil nanya-nanya dikit tentang berbagai model bivak. Biar gak terlalu kelihatan malas aja sik. Bhihihikkk.
Jadi kenapa sebagian besar pakai bivak? Karena sebetulnya acara camping ceria dari Bushcraft ini memang melatih pesertanya untuk meminimalisir bawaan ketika di alam bebas. Misal tenda diganti dengan shelter sederhana alias bivak dari flysheet, dll. Nah untuk tahu lebih banyak tentang komunitas Bushcraft ini silakan kunjungi saja akun Facebooknya : Bushcraft Indonesia.
Sabtu sore: bivak udah jadi, tenda udah ready. Waktunya materi dari Bushcraft.
Tapi apa mau di kata, materi belum selesai disampaikan sesuai rencana, hujan juga yang menginterupsi dengan derasnya. Berjam-jam pula. Masuk tenda deh ngendon sampe malem, sampe pagi. Rencana api unggun tinggal rencana. Tidur saja.
Minggu pagi: matahari bersinar, cuaca cerah. Peserta kemping pada semangat banget mau muncak ke 2050mdpl and I feel like.., harus ikut muncak juga ya? Eww jujur saya gak yakin akan kemampuan saya sendiri untuk naik gunung. Apalagi di tengah-tengah mereka yang udah pengalaman. Hvft. Berasa aku mah apa atuh :(
Modal nekat dan gengsi yang lebih tinggi sedikit dari gunung Slamet di Jawa Tengah sana, pelan-pelan lah saya selangkah demi selangkah ngekor rombongan naik ke puncak Burangrang. Banyak berenti, banyak poto-poto, banyak nanjak (yaeyalah), banyak turunan juga. Agak heran juga sih, namanya naik gunung kok ada turunan juga.
Ternyata naik gunung macem hidup gitu ya, jalannya juga naik turun. Untuk mencapai puncak, selain harus naik kadang harus turun dulu untuk bisa naik lebih tinggi lagi. Dan kadang sebagai bonus kita akan menemukan dataran rata yang lumayan luas, bisa buat istirahat lurusin kaki, lurusin hati.
Kira-kira setelah kurang lebih 3 jam nanjak kita sampai di puncak Burangrang. Ada semacam tugu penanda puncak dan dataran yang tak seberapa luas. Dan apakah capeknya nanjak bisa kebayar dengan mencapai puncak ini? Enggak. Kebayarnya nanti setelah turun ke kaki gunung melewati rute yang sama, tanjakan turunan yang sama, tingkat kesulitan yang ternyata kalau turun lebih berasa, dan akhirnya ketemu indomie rebus pakai telor ples irisan cabe rawit. Nah lunas dah tuh capeknya semuanya lunas. Hahahaaaa..
*laper*